
Indonesia berduka atas berpulangnya Presiden ke-3 RI BJ Habibie petang tadi di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (11/9). Thareq Kemal Habibie, putra Almarhum mengonfirmasi meninggalnya sang ayah, “Dengan sangat berat, mengucapkan, ayah saya Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden ke-3 RI, meninggal dunia jam 18.05 WIB,” ujar Thareq dengan terbata. Pemerintah pun menetapkan selama tiga hari ke depan sebagai Hari Berkabung Nasional.
Presiden Habibie semasa hidupnya dikenal banyak menorehkan prestasi. Berpulangnya Habibie membuat publik mengulas kembali kenangan tentang Habibie terutama terkait teknologi khususnya perakitan pesawat terbang. Alhasil media sosial pun dipenuhi foto Habibie beserta segala jenis pesawat yang pernah dibuatnya.
Berbeda halnya dengan Djohermansyah Djohan. Presiden I-Otda ini mengenang BJ Habibie sebagai tokoh desentralisasi Indonesia.
“Ya. Bangsa ini berduka. Kita telah kehilangan Bapak Desentralisasi Indonesia.
Setelah 25 tahun pemerintahan dikelola secara sentralistik di bawah rezim Orba, Presiden B.J. Habibie menerbitkan UU Pemda No 22/1999 yang isinya mempromosikan habis desentralisasi dan otonomi daerah.” ujar Guru Besar IPDN ini.
Lebih lanjut, Dirjen Otonomi Daerah Depdagri 2010-2014 ini mengaku bahwa sejak dikeluarkannya UU 22_1999 maka daerah tidak lagi menjadi penonton, tapi sudah menjadi aktor utama dalam pembangunan.
“Pada waktu itu pula pembangunan di daerah berubah menjadi pembangunan daerah. Daerah menggeliat.
Masyarakat pun terlibat, baik dalam pembuatan kebijakan maupun dalam pemilihan pimpinan. Pemimpin daerah yg genuine mulai mencuat.” kata Prof Djo, panggilan akrab Djohermansyah.
“Pada prinsipnya, Otda itu untuk kesejahteraan masyarakat, untuk pelayanan publik yang lebih baik, dan untuk pengembangan demokrasi lokal yang sehat.
Semua itu buah dari keputusan berani Presiden B.J. Habibie. Selamat jalan menghadap khalikmu Bapak Desentralisasi Indonesia. Insya Allah kami akan lanjutkan perjuangan membina desentralisasi yg berkualitas di negeri ini” pungkas lulusan terbaik IIP Jakarta 1984 dan IPDN Bukittinggi 1977 ini terharu. ***