Di Atas Kereta: Memperjuangkan Hak Kursinya

Nama: Penyka Harani Putri

(Jurusan: Ilmu Sejarah Universitas Andalas)

Kereta api, bukan hanya sekedar transportasi yang menghubungkan daerah satu ke daerah yang lainnya, juga menjadi panggung kecil yang memperlihatkan beragam karakter penumpang di dalamnya. Salah satu kelompok masyarakat yang menarik untuk diamati di atas kereta adalah perempuan, terutama bagi masyarakat di Minangkabau yang menjadi penumpang. Dengan latar belakang budaya matrilineal yang kuat, membawa serta mentalitas unik yang terpancar dalam perjalanan kereta api.

Perempuan di Minangkabau dikenal dengan karakternya yang kuat, gigih, dan berani menyuarakan pendapat. Sifat-sifat ini tak hanya terlihat dalam kehidupan sehari-hari di ranah Minang, tetapi juga terbawa dalam mobilitas mereka, termasuk saat menjadi penumpang kereta api. Di tengah hiruk-pikuk perjalanan kereta api, khususnya di jalur Padang-Pariaman, seringkali menyaksikan bagaimana perdebatan-perdebatan kecil hingga besar untuk memperjuangkan hak mereka mendapatkan tempat duduk. Bukan sekadar duduk, melainkan sebuah penegasan atas martabat dan kesetaraan.

Sebuah kasus yang pernah terjadi di jalur kereta api Padang-Pariaman menggambarkan dinamika ini. Seorang perempuan paruh baya asal Padang terlihat berdebat dengan penumpang lain mengenai kursi yang ia klaim miliknya. Perempuan tersebut berpendapat bahwa ia sudah memesan kursi itu jauh hari sebelumnya, sementara penumpang lain itu merasa bahwa kursi tersebut bebas karena tidak ada nomor tempat duduk yang ditentukan. Perdebatan kecil ini menarik perhatian penumpang lain, dengan beberapa penumpang lain mendukung perempuan tersebut atas dasar menghormati usia, sementara yang lainnya merasa bahwa tindakan itu kurang adil.

Juga terjadi kasus yang hampir sama di jalur kereta Pariaman-Padang, seorang mahasiswa bersama rombongannya yang ingin pergi ke Padang. Saat memasuki kereta, seperti biasa suasana ramai dan suara keributan dimana-mana, saat mahasiswa tersebut mencari kursinya, ia mendapati ada ibu-ibu yang menduduki kursi tersebut dan mengkalim bahwasanya kursi itu miliknya karena ia sudah dari padang menduduki nomor kursi itu. Saat di beritahu ibu-ibu tersebut pun cuek dan tidak menggubris keluhan mahasiswa ini karena ia menganggap mahasiswa tersebut masih muda dan kuat untuk berdiri.

Bahkan ibu-ibu itu mengungkapkan bahwa ia merasa berhak untuk tempat duduk itu karena terlebih dahulu masuk dan duduk di sana. “Awak lah dari padang duduak di siko, cari se bangku yang lain, di balakang banyak nan kosoang mah,” ujarnya kepada mahasiswa tersebut yang terus ingin duduk di kursi itu.

Situasi seperti ini dapat menciptakan persepsi yang beragam. Beberapa pihak menganggapnya sebagai ekspresi dari keberanian perempuan di Minangkabau yang patut dihargai. Namun, tidak sedikit pula yang merasa bahwa tindakan tersebut mencerminkan sikap yang kurang taat terhadap aturan bersama, terutama dalam ruang publik. Persepsi negatif ini dapat memengaruhi cara masyarakat luas melihat pola prilaku perempuan terutama di Minangkabau, yang sebenarnya sangat menjunjung tinggi nilai sopan santun dan kebersamaan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih bijaksana dalam menghadapi situasi semacam ini, baik oleh individu maupun komunitas.

Mentalitas perempuan Minangkabau yang tangguh ini terpatri dalam budaya matrilineal mereka. Mereka terbiasa mengambil peran penting dalam keluarga dan masyarakat. Kemampuan bernegosiasi dan memimpin diskusi sudah mendarah daging. Maka, ketika menghadapi situasi di kereta api yang penuh sesak dan kurangnya kursi tersedia, mereka tidak ragu untuk bersuara. Mereka akan dengan santun, namun tegas, meminta kepada penumpang lain untuk berbagi tempat duduk, atau bahkan melaporkan kepada petugas kereta jika diperlukan.

Namun, berbeda cerita juga dengan beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat yang tau hak dan kewajibannya dimana pun berada, contoh saja pada saat di kereta api seorang perempuan muda berdiri karena tidak dapat tiket duduk, lalu ada seorang bapak-bapak menawarkan untuk bertukar saja karena merasa kasihan melihat perempuan itu berdiri, namun perempuan muda itu pun tidak mau karena ia tau kalo dia harus berdiri sesuai dengan tiket apa yang dia dapati. hal ini mencerminkan dari banyaknya keributan yang terjadi di kereta, dapat di lihat juga dari sisi lainnya seorang penumpang yang peka atas aturan yang ada.

Untuk mengatasi gesekan sosial seperti ini, diperlukan kesadaran bersama akan pentingnya menghormati aturan dan etika dalam ruang publik. terkhususnya bagi penumpang perempuan dengan segala keberanian dan kepercayaan dirinya, dapat tetap memperjuangkan hak mereka dengan cara yang tidak menimbulkan keributan sehingga tidak menjadi tontonan negative bagi khalayak ramai.

Selain itu, pihak penyelenggara transportasi juga memiliki peran penting dalam menyediakan sistem yang lebih terorganisasi, seperti pengecekan nomor tempat duduk yang jelas untuk mengurangi potensi konflik antarpenumpang. Fenomena bagi perempuan yang selalu berdebat saat memperjuangkan kursi di kereta api bukanlah sekadar permasalahan kecil, tetapi cerminan dari dinamika sosial yang kompleks. Budaya, nilai kemandirian, dan realitas ruang publik berperan besar dalam membentuk situasi ini.

Dengan kesadaran dan pendekatan yang tepat, baik oleh individu maupun masyarakat, gesekan sosial seperti ini dapat diatasi, sehingga permasalahan- permasalahan seperti ini tidak terjadi dan menjadi pelajaran yang menginspirasi dalam kehidupan sehari-hari bagi penumpang kereta maupun di ruang publik lainnya.***