JAKARTA (MIMBAR)- Peraturan Daerah (Perda) selama ini dianggap bertentangan dengan Undang-undang (UU) di atasnya. Untuk itu, Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI melakukan pengawasan dan evaluasi Perda-perda yang dianggap bertabrakan dengan UU di atasnya, agar tidak ada implikasi di tengah-tengah masyarakat.
“Selama ini Perda sering bertentangan dengan UU di atasnya atau hierarki perundang-undangan. Apapun produk hukum tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada di atasnya,” ucap Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin, saat Rapat Konsultasi BULD DPD RI dengan Bapemperda DPRD Provinsi dan Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi se-Indonesia di Ruang GBHN, Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Mahyudin mengungkapkan, pada konteks tersebut, beberapa waktu lalu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sempat membatalkan Perda yang bertentangan. Namun Mendagri tidak mempunyai kewenangan dalam membatalkan Perda.
“Perda yang bertentangan itu harus diuji materil di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini DPD RI melakukan singkronisasi agar tidak ada Perda-perda yang bertabrakan kepentingan dalam produk UU,” kata Mahyudin.
Ditambahkan Mahyudin, DPD RI telah melakukan super visi, pengawasan, singkronisasi, dan evaluasi terhadap Perda di daerah yang selama ini bertentangan dengan UU di atasnya. Dengan adanya acara ini, maka sinkronisasi ke depan tidak ada lagi Perda-perda yang bertentangan atau bertabrakan dengan UU di atasnya.
“Pada kapasitasnya, DPD RI tidak mempunyai kewenangan membataskan atau membatalkan suatu Perda. DPD RI hanya sebatas melakukan pengawasan dan evaluasi,” jelasnya.
Senator asal Kalimantan Timur itu menjelaskan bahwa kewenangan DPD RI yang baru ini telah di atur dalam UU MPR RI, DPR RI, DPD RI, dan DPRD (MD3). Untuk itu DPD RI mengsinkronisasi sebelum kejadian, ‘sedia payung sebelum hujan’, dari pada repot-repot ke Mahkamah Konstitusi (MK) akan makan waktu dan biaya. “Maka DPD RI selalu berperan aktif dalam koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah,” cetusnya.
Senada dengan Mahyudin, Ketua BULD Marthin Billa mengatakan, salah satu permasalahan terkait pembentukan legislasi saat ini menjadi perhatian publik, seperti banyaknya Perda yang bermasalah. Perda-perda bermasalah tersebut umumnya dinilai karena bertentangan dengan perundangan di atasnya. “Pada umumnya berimplikasi terhadap timbulnya hambatan-hambatan investasi di daerah,atauu menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas,” tuturnya.
Menurut Marthin, keberadan sebuah Perda memiliki lebih dari sekedar sebuah pertauran perundangan di tingkat daerah. Maknanya, Perda merupakan bentuk peraturan yang secara riil menyentuh bidang-bidang kehidupan masyarakat di daerah. “Kita tahu DPRD, pemerintah provinsi dan Kementerian Dalam Negeri masih memiliki celah lolosnya Perda bermasalah,” tegasnya.
Selain oleh pemerintah pusat dan provinsi, lanjutnya, pemantauan dan evaluasi Ranperda dan Perda juga dilakukan oleh DPD RI. Hal ini merupakan kewenangan baru DPD RI sebagat amanat UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. “Untuk melaksanakan tugas itu, DPD RI telah membentuk satu alat kelengkapan baru, yaitu Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD),” kata Marthin. (ms/rls/del)