Merajut Identitas: Menyingkap Tradisi “Marandang Daun Kayu” dan Maknanya dalam Budaya Minangkabau

Annisa Safrina. (foto/dok)

Oleh: Annisa Safrina
(Prodi : Sastra Minangkabau Universitas Andalas)

Apa itu “Marandang Daun Kayu”?
Berbeda dengan rendang daging yang populer, “marandang daun kayu” menggunakan daun-daun pilihan sebagai bahan utama. Daun-daun ini direbus dengan santan dan bumbu rempah, menghasilkan hidangan berkuah kental dengan rasa gurih dan sedikit pedas.
Artikel ini berfokus pada tradisi kuliner “Marandang daun kayu” pada pertemuan dan acara keluarga, komunitas sebagai harta budaya bangsa yang masih dijaga oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Tradisi kuliner mengandung nilai dan makna yang merupakan kearifan lokal dari komunitas “marandang daun kayu” Minangkabau di Sumatera Barat. Penelitian ini adalah studi deskriptif kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa kearifan kuliner lokal ini dapat menjadi sumber pembelajaran di sekolah dasar dan menengah serta media pendidikan karakter. Kearifan lokal membangun identitas nasional dan menyaring masuknya budaya asing ke Indonesia. Untuk dapat melakukan pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal dari masyarakat bagi siswa, tentu diperlukan pemahaman akan makna di balik nilai-nilai kearifan lokal ini, dalam hal ini tradisi marandang dalam rangkaian acara keluarga, komunitas, dan pemerintahan, dibutuhkan pendekatan yang lebih partisipatif terhadap siswa. Keberadaan pemahaman akan nilai kearifan lokal dari tradisi bapantun memberikan dasar bagi keberlanjutan tatanan kehidupan di masa depan.
Di balik gemerlapnya kuliner Minangkabau yang kaya rasa, terdapat tradisi unik yang jarang tersorot: “marandang daun kayu”. Tradisi ini bukan sekadar proses memasak, tetapi mengandung makna budaya yang dalam dan erat kaitannya dengan nilai-nilai luhur masyarakat Minangkabau.
Jenis Daun dan Bumbu yang Digunakan
Daun yang dipakai dalam tradisi ini beragam, seperti daun surian, daun kunyit, daun limau, daun salam, dan daun singkong. Bumbu rempahnya pun tak kalah istimewa, terdiri dari cabai merah, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, kunyit, dan ketumbar.
Proses Memasak yang Unik
Memasak “marandang daun kayu” membutuhkan waktu dan kesabaran. Daun-daun direbus lama dengan api kecil agar teksturnya lunak dan bumbunya meresap sempurna. Proses ini melambangkan ketekunan dan kesabaran masyarakat Minangkabau dalam menghadapi berbagai rintangan.
Makna Budaya yang Terkandung
Tradisi “marandang daun kayu” bukan sekadar hidangan lezat, tetapi mengandung makna budaya yang mendalam. Berikut beberapa maknanya:
Kebersamaan: Tradisi ini biasanya dilakukan bersama-sama, mencerminkan nilai kekeluargaan dan gotong royong yang kuat dalam masyarakat Minangkabau.
Kesederhanaan: Bahan-bahan yang digunakan relatif sederhana, menunjukkan filosofi hidup masyarakat Minangkabau yang tidak berlebihan.
Kearifan Lokal: Penggunaan daun-daun dan rempah-rempah mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang tanaman obat dan manfaatnya.
Penghargaan terhadap Alam: Tradisi ini menunjukkan rasa syukur dan penghargaan terhadap kekayaan alam yang dikaruniakan kepada masyarakat Minangkabau.
Selain itu, marandang daun kayu juga memiliki nilai nilai tersediri yaitu,
Tradisi ini sarat makna dan nilai budaya yang luhur, mencerminkan filosofi hidup masyarakat Minangkabau yang penuh makna.
Nilai Kesederhanaan dan Keberkahan
Tradisi ini mencerminkan nilai kesederhanaan dan keberkahan. Daun-daun yang digunakan mudah ditemukan di sekitar rumah, menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kelezatan tidak harus mahal. Proses memasaknya yang lama dan membutuhkan kesabaran mengingatkan kita untuk menghargai hasil jerih payah dan bersyukur atas apa yang kita miliki.
Warisan Leluhur dan Kearifan Lokal
Tradisi ini merupakan warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Tradisi ini mengandung kearifan lokal tentang pemanfaatan tanaman obat dan rempah-rempah untuk kesehatan. Daun-daun yang digunakan memiliki berbagai khasiat, seperti meningkatkan daya tahan tubuh, melancarkan pencernaan, dan meredakan nyeri.
Simbol Keberagaman dan Persatuan
“Marandang daun kayu” dapat diinterpretasikan sebagai simbol keberagaman dan persatuan masyarakat Minangkabau. Tradisi ini tidak mengenal perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Setiap orang dapat terlibat dalam proses memasak dan menikmati hidangan ini bersama-sama.
Media Pembelajaran dan Penanaman Nilai
Tradisi ini dapat menjadi media pembelajaran dan penanaman nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Nilai-nilai seperti gotong royong, kesabaran, kesederhanaan, dan penghargaan terhadap alam dapat diajarkan melalui proses memasak dan cerita di balik tradisi ini.
Peluang Ekonomi dan Daya Tarik Wisata
Tradisi ini memiliki potensi untuk menjadi peluang ekonomi dan daya tarik wisata. Hidangan ini dapat dikemas dan dijual sebagai produk kuliner khas Minangkabau. Tradisi ini juga dapat menjadi daya tarik wisata budaya yang unik dan menarik bagi wisatawan yang ingin mengenal budaya Minangkabau lebih dalam.

Tradisi yang Terancam Punah
Sayangnya, tradisi “marandang daun kayu” kini semakin jarang dipraktikkan, terutama oleh generasi muda. Hal ini dikarenakan kesibukan, perubahan gaya hidup, dan kurangnya edukasi tentang tradisi ini.
Upaya Pelestarian
Upaya pelestarian tradisi “marandang daun kayu” perlu dilakukan agar tidak terlupakan. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
Dokumentasi: Merekam proses memasak dan cerita di balik tradisi ini dalam bentuk tulisan, video, atau foto.
Edukasi: Memperkenalkan tradisi ini kepada generasi muda melalui sekolah, komunitas, dan media sosial.
Festival Kuliner: Mengadakan festival kuliner yang khusus menampilkan “marandang daun kayu” dan hidangan tradisional lainnya.
Tradisi “marandang daun kayu” merupakan warisan budaya yang berharga dan perlu dilestarikan. Tradisi ini bukan hanya tentang hidangan lezat, tetapi juga tentang nilai-nilai budaya yang luhur dan kearifan lokal yang patut dijaga. Dengan upaya bersama, tradisi ini dapat terus hidup dan menjadi bagian dari identitas masyarakat Minangkabau di masa depan.***