Pasca Putusan Sengketa Informasi Publik


Oleh: Kiki Eko Saputra, S.H
(Panitera Pengganti Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat)

Perubahan kedua atas UUD 1945 yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 yang lalu, negara telah mengakomodir hak-hak yang paling mendasar bagi masyarakatnya. Hak-hak yang paling mendasar itu disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam perubahan UUD 1945 tersebut terdapat penambahan beberapa pasal dan diantara pasal-pasal yang ditambhankan terdapat salah satu pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 28 a sampai dengan Pasal 28 j. Secara garis besar terdapat 3 (tiga) prinsip dasar mengenai HAM itu sendiri diantaranya : 1. Prinsip Keadilan (equity) dimana di dalamnya terdapat kesetaraan, non diskriminasi, kesetaraan dalam mengakses layanan publik, terbukanya kesempatan bagi setiap orang untuk berpartisipasi, 2. Prinsip Martabat (dignity) dan 3. Prinsip Humanity. Dalam ketentuan Pasal 28 a sampai dengan Pasal 28 j tersebut terdapat salah satu pasal yang mengatur tentang hak untuk memperoleh informasi yang secara eksplisit terdapat di dalam ketentuan Pasal 28 F. Pasal 28 F ini lah, pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diterjemahkan dan melahirkan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta untuk menjalankan undang-undang tersebut pada tahun 2010 lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Tujuan dibentuk UU No. 14 Tahun 2008 tersebut adalah untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik dan mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggara Negara dan Badan Publik lainnya yang berakibat pada kepentingan publik. Konsekwensi dibelakukanya UU No. 14 Tahun 2008 tersebut adalah lahirnya sebuah norma baru tetang informasi publik yang harus disusun secara sistematis dan bisa dipertanggungjawakan. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah secara gamblang mengatur bagaimana Pemohon Informasi (individu dan Badan Hukum) melakukan permohonan informasi, keberatan atas informasi ke Badan Publik serta permohonan penyelesaian sengketa informasi publik ke Komisi Informasi begitupun Bagi Badan Publik dalam penggunakan hak dan kewajibannya sebagaimana yang telah diatur dalam uu tersebut. Untuk mengomptimalkan pemberlakukan dan pengawasan terhadap keterbukaan informasi publik dibentuklah suatu lembaga bantu (auxiliary sate) yaitu Komisi Informasi.
Undang-undang tersebut memberikan peran bagi Komisi Informasi diantaranya sebagai penyelesaian sengketa informasi publik, menetapkan kebijakan umum pelayanan publik dan menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Secara umum Komisi Informasi memiliki tugas utama yakni menerima, memeriksa dan memutus Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi Non-litigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008.

Komisi Informasi sebagai lembaga quasi peradilan
Dalam menjalankan tugas utama dari Komisi Informasi, lembaga ini berpedoman pada UU No. 14 Tahun 2008 yang menjadi hukum materil dan Peraturan Komisi Informasi (PerKI) No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. Regulasi tersebut memberikan beberapa kewenangan bagi Komisi Informasi diantaranya : memanggil dan/atau mempertemukan para pihak yang bersengketa, meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh Badan Publik terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan sengketa informasi publik, meminta keterangan atau menghadirkan pejabat publik ataupun pihak yang terkait sebagaimana saksi dalam penyelesaian sengket informasi publik, mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam Ajudikasi Non-litigasi penyelesaian sengketa informasi publik . Kewenangan yang diberikan oleh regulasi tersebut kepada Komisi Informasi, menjadikan Komisi Informasi sebagai lembaga quasi peradilan. Lebih lanjut kewengan tersebut dapat ditafsirkan ke dalam 6 kekuasaan yang dimiliki oleh Komisi Informasi dalam hal persidangan Ajudikasi Non-Litigasi diantaranya sebagai berikut : 1. Kekuasaan untuk memberikan penilaian, 2. Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta dan untuk membuat putusan, 3. Kekuasaan untuk membuat amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat suatu subjek hukum dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya, 4. Kekuasaan untuk mempengaruhi orang atau hak milik orang per orang, 5. Kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, memaksa saksi untuk hadir dan untuk mendengar keterangan pihak dalam persidangan, 6. Kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman.

Putusan Komisi Informasi
Putusan dari Komisi Informasi terhadap suatu sengketa informasi publik (perselisihan antara Pemohon Informasi dengan Badan Publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi) yang telah terdaftar di Kepaniteraan Komisi Informasi berupa Putusan Ajudikasi dan Putusan Mediasi. Putusan Ajudikasi adalah putusan yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi melalui Majelis Komisioner dalam persidangan ketika proses mediasi yang dilakukan oleh Para Pihak tidak berhasil dan tidak mencapai kesepakatan bersama serta dilanjutkan dengan proses pembuktian dan penyampaian kesimpulan para pihak. Putusan ini memiliki amar putusan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 46 UU No. 14 Tahun 2008 dan mempunyai kekuatan hukum tetap jika para pihak tidak mengajukan keberatan terhadap putusan tersebut ke pengadilan yang mempunyai kompetensi. Sedangkan Putusan Mediasi ini berupa kesepakatan para pihak yang disepakati secara bersama dengan bantuan Mediator dan kesepakatan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk Putusan Mediasi oleh Majelis Komisioner. Putusan ini bersifat final dan mengikat para pihak sebagaimana ketentuan Pasal 39 UU No. 14 Tahun 2008

Pacsa Putusan Komisi Informasi
Setelah Komisi Informasi mengeluarkan produk hukum berupa putusan terhadap permohonan penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon Informasi, dan jika ada Para Pihak (Pemohon dan Termohon) merasa dirugikan dan/atau keberatan terhadap putusan tersebut, Para Pihak berdasarkan ketentuan Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Puplik jo Pasal 60 Peraturan Komisi Informasi (PerKI) No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik jo Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengeketa Informasi Di Pengadilan telah memberikan beberapa upaya hukum bagi Pemohon dan Badan Publik untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya diantaranya Para Pihak dapat mengajukan keberatan dan/atau gugatan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sesuai dengan kompetensi yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan serta melakukan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) jika para pihak tidak menerima putusan dari Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Alternatif lain upaya hukum yang di akomodir dalam UU No. 14 Tahun 2008 adalah Pemohon bisa menggunakan ketentuan Pasal 52, Pasal 53, Pasal 55, Pasal 56 sebagai dasar delik aduan sebagaimana ditarsir dalam Pasal 57 undang-undang ini. Bagi Termohon, UU No. 14 juga memberikan kewenangan untuk melakukan delik aduan sebagaimana ketentuan Pasal 51, Pasal 54 dan Pasal 56. (***)