Perempuan dan Ambisi Politik

Oleh : Egip Satria Eka Putra (Ketua MPM KM UNAND)
Oleh : Egip Satria Eka Putra (Ketua MPM KM UNAND)

Oleh : Egip Satria Eka Putra (Ketua MPM KM UNAND)

Baru-baru ini publik tanah air dihebohkan dengan terpilihnya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI periode 20019-2024. Pasca dilantik pada 1 Oktober yang lalu, perempuan yang juga sebelumnya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kabinet Kerja Jokowi ini, secara resmi akan bertugas mengemban amanah raykat Indonesia untuk memimpin Parlemen di Senayan dalam lima tahun kedepan. Ini merupakan pertama dalam sejarah dimana Indonesia akhirnya memiliki pimpinan DPR perempuan.
Terpilihnya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI semakin menandakan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Hal ini diperkuat dari data yang diperoleh dari Kompas.com (04/10/2019) memberitakan, bahwa jumlah perempuan yang menempati kursi DPR mencapai 120 orang atau 20,87 persen dari total 575 kursi di DPR. Jumlah ini meningkat dari periode sebelumnya, yaitu sebesar 17,32 persen. Meski demikian, semenjak pemilu 1999 hingga saat ini, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI belum mencapai angka 30 persen.

Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam Pemilu, tersebut tidak terjadi secara serta merta, namun karena perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan. salah satunya adalah dengan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan.

Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan
jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pasal 28 H ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Ketentuan UUD 1945 tersebut menjadi landasan yang kuat bagi semua golongan warga negara untuk bebas dari diskriminasi sistematik dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada aspek politik. Karena itu, UU paket politik yang digunakan sebagai landasan pelaksanaan Pemilu 2019 mengakomodasi norma-norma hukum yang bertujuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR.

Kebijakan Afirmatif (Affirmative Action)
Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan.
Penerapan affirmative action terhadap perempuan dalam politik dan Pemilu ternyata mampu meningkatkan keterwakilan perempuan dari waktu ke waktu. Dari yang telah dikemukan di awal, keterwakilan perempuan terus meningkat seiring dengan berlakunya peraturan perundang-undangan yang menekankan perlunya affirmative action tersebut. Peningkatan keterwakilan perempuan yang lebih signifikan saat zipper system diberlakukan pada sistem penetapan bakal calon anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Di samping penerapan kuota perempuan 30%, bakal calon perempuan tersebut harus diletakan pada 1 (satu) di antara 3 (tiga) bakal calon.

Hadirnya sosok perempuan ke kancah dimensi publik baik itu di ranah eksekutif ataupun di legislatif membawa kecenderungan baru dalam konteks kekinian. Perempuan ingin dunia memperlakukan kaumnya secara proporsional. Kecenderungan inilah yang salah satunya berimplikasi pada terstimulusnya kaum perempuan bersaing dengan kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin.
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat bahwa memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki – laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan.
Yusuf Al-Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah memiliki kedudukan yang sama. Hal ini dikarenakan keduanya sebagai manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin negara).
Namun perlu diakui, bahwa perempuan pun memiliki kelemahan jika menjadi seorang pemimpin. Menurut penulis setidaknya ada dua hal yang membatasi perempuan jika menjadi pemimpin. Pertama, keterbatasan fisik dan ruang lingkup gerak yang dimiliki perempuan. Laki-laki diciptakan dengan kondisi fisik yang memang lebih kuat dan wanita setingkat di bawahnya, hal ini membuat penyikapan terhadap seorang pemimpin perempuan akan berbeda dengan pemimpin laki-laki.
Tulisan ini bukan bermaksud meragukan dan meremehkan kepemimpinan perempuan di Parlemen. Melainkan, sekedar memberikan gambaran kepada kita semua kelebihan dan kekurangan apabila perempuan maju menjadi pimpinan di Parlemen. Serta mengingatkan kepada setiap perempuan yang ada di Parlemen baik itu di pusat maupun di daerah agar benar-benar telah mempertimbangkan terlebih dahulu dengan matang.
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis rekomendasikan kepada perempuan yang menjadi anggota dewan dan terutama pos-pos strategis dan pimpinan di DPR yang dipegang oleh perempuan saat ini. Pertama, tetap menjalankan tugas dan kewajiban utamanya yaitu sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Karena seorang perempuan adalah “madrasah pertama” bagi anak-anaknya. Karena bagaimana jadinya nanti seorang anak ketika dawasa tergantung kepada bagaimana seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya sejak kecil.
Kedua, ketika telah diberi amanah untuk memimpin, maka ciptakanlah suasana yang kondusif, tentram dan damai. Mampu mencarikan banyak solusi terhadap berbagai macam persoalan yang ada. Terpenting lagi adalah menjalankan amanah dengan jujur dan seadil-adilnya. Tidak malah kemudian melakukan penyimpangan terhadap jabatan dan korupsi. Karena biar bagaimana pun sejauh ini kasus pejabat perempuan yang terlibat kasus korupsi juga lumayan banyak.
Maka dari itu, pemimpin perempuan di DPR hari ini diharapkan bisa memberi sentuhan kelembutan agar kehidupan dalam perpolitikan menjadi damai dan santun. Kehadiran perempuan di parlemen sangatlah penting, sebab memberikan otoritas pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi besar pada pencapaian hak-hak perempuan, khususnya kesetaraan gender.