Catatan H. Dheni Kurnia
ORANG Riau banyak berhutang kepada Sumateta Barat. Lihatlah, betapa banyak orang orang dari Riau pergi
berlibur ke Sumbar. Dinas Pariwisata Provinsi Sumbar mendata, ada 700 ribu lebih orang Riau berkunjung ke berbagai destinasi wisata Sumbar setiap tahun. Bahkan jika hari libur sekolah atau libur panjang, orang Riau tahan macet, tidur di mobil dan rumah penduduk atau di tempat lain, karena hotel hotel sudah penuh.
Orang orang Riau juga banyak menuntut ilmu di Sumatera Barat. Pada awal tahun 60-an sampai 80-an, banyak orang Riau yang masuk SMTA dan perguruan tinggi di Sumbar ketimbang sekolah di Riau. Karena itu, banyak penjabat Riau atau para pengusaha sukses Riau, tamatan sekolah dari Sumatera Barat. Bahkan dulu ada pameo di kalangan pejabat pemerintahan di Riau; Jika ingin jabatan tinggi dan sukses, menikahlah dengan gadis Sumbar. Karena wanita Minang membawa hoki (keberuntungan).
Sebaliknya, orang orang Sumatera Barat, banyak pula yang menumpang hidup dan mencari keuntungan di Riau. Karena Riau termasuk daerah kaya dengan SDA (Sumber Daya Alam) melimpah, maka berdatanganlah orang orang Sumbar ke negeri ini. Hampir semua lini pekerjaan di Riau ada orang Sumbar. Mulai dari BUMN, BUMD, perusahaan swasta, perbankan PNS, guru, kontraktor, wartawan, TNI, Polisi, sampai ke tukang cukur, tukang las, tukang martabak, tukang cuci piring dan lainnya, pasti ada orang Sumbar. Hal yang tak mungkin terjadi bagi orang Riau di Sumatera Barat.
Orang Sumbar bahkan mampu menghadang lajunya pelaku ekonomi dan perdagangan dari orang orang keturunan China di Riau. Jika orang China jadi kontraktor, orang Sumbar juga. Jika China buka supermarket, orang Sumbar juga. Jika orang China punya toko, orang Sumbar juga. Meski terkadang toko orang Sumbar persis di depan toko China, alias buka lapak “Kaki Lima.”
Setiap hari, orang orang dari Sumbar, yang tak punya KTP (Kartu Tanda Penduduk) Riau, juga bolak balik, Sumbar-Riau. Mereka membawa bawang, cabai, lobak, cubadak, kubis, beras, ikan, durian dan lain sebagainya. Begitu dagangan mereka terjual, mereka balik lagi ke Sumbar. Karena ini, bila jalan Sumbar-Riau, putus atau banjir berhari hari, harga cabai dan sayur mayur, langsung melonjak di Riau.
Tapi terlepas dari utang budi, menumpang hidup dan saling memanfaatkan itu, sesungguhnya, Riau dan Sumbar adalah orang orang yang bersaudara layaknya sekandung. Orang Riau yang bersuku Melayu dan orang Sumbar yang bersuku Minang, atau sering juga disebut “Orang Padang” memiliki sejarah kebersamaan yang panjang. Sama sama menjunjung adat resam, sama sama Muslim dan sama sama dalam satu Keresidenan di zaman penjajahan Belanda. Semua orang Melayu adalah Islam. Begitu juga orang Minang. Bukanlah orang Melayu atau Minang, jika mereka tidak Islam. Dalam peradaban adat, ada ketentuan yang sama di Melayu maupun Minang; Adat bersendi syarak (agama), Syarak bersendi kitabullah (Al Qur’an dan hadist). Syarak menentukan, adat memakai. Maka dari itu, tak heran bila Melayu dan Minang, juga melahirkan ulama ulama besar di Indonesia.
Melayu dan Minang, hanya “dipisahkan” oleh tradisi, oleh alam, oleh kebudayaan, oleh kesungguhan, nasib dan kepentingan. Yang lainnya, takkan ada rasa iri maupun dengki. Takkan ada gelombang permusuhan, menuntut balas budi, ingin lebih dihormati, lebih pintar, lebih berkuasa dan lain sebagainya. Melayu dan Minang ditempa oleh rasa persaudaraan yang sama; senasib sepenanggungan. Hal ini terjaga baik hingga kini. Bahkan ketika Gubernur Riau saat ini dijabat orang Minang, orang Riau mendukung dan hening hening saja.
LALU ada apa dengan Riau dan Sumbar. Ada apa antara Melayu dan Minang? Tak ada apa apa sebenarnya. Tapi seperti kata pepatah Melayu; Keruh air di hulu, keruh air di hilir. Kata orang Minang; Sakik (sakit) kami di kampuang, sakik pulo nan di rantau. Orang Sumbar kini tengah menderita sakit. Orang Minang mulai mengamuk karena hak hak dan ulayat mereka mulai dikebiri oleh penguasa. Puncak sakit itu berasal dari tubuh PT Semen Padang di Indarung.
PT Semen Padang (PTSP), seperti halnya PT Stanvac, Caltex, Chevron dan lainnya di Riau, adalah “tulang punggung” perekonomian Sumatera Barat. Tulang punggung itulah yang kini hendak dipatah-patahkan, kemudian dikuburkan dalam dalam.
Beberapa hari belakangan, sejumlah tokoh masyarakat Minang, menulis surat kepada Presiden Jokowi dan sejumlah menteri. Mereka sepakat minta PTSP dipisahkan dari Semen Indonesia yang selama ini dinilai membonsai orang Minang. PT Semen Indonesia, mereka nilai banyak melanggar janji. Banyak menipu dan semakin tidak jelas. Mereka menolak pengambilalihan PTSP oleh siapapun, karena pabrik pabrik PTSP itu terletak di tanah tanah ulayat milik masyarakat adat.
Masyarakat juga berjanji Demi Allah SWT, mereka tidak akan menyerahkan satu jengkal pun tanah ini untuk pihak asing. Sumpah itu mereka ucapkan karena Kementerian BUMN dan Direksi Semen Indonesia merencanakan menghilangkan status PTSP sebagai korporasi.
PTSP memang memiliki sejarah paling panjang ketimbang pabrik semen lainnya di tanah air. Data yang ada di PTSP menyebutkan, perusahaan ini didirikan 18 Maret 1910 dengan nama NV NIPCM (Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij) yang merupakan pabrik pertama. Kemudian, 5 Juli 1958, perusahaan dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia dari pemerintah Belanda dan diberi nama PT Semen Padang.
Tahun 1995, pemerintah mengalihkan kepemilikan saham PTSP ke Semen Gresik. Yang agak aneh dari penggabungan itu, justru Semen Gresik yang jadi induk. Bukan PTSP yang notabene paling tua dan berproduksi paling banyak. Lalu, 20 Desember 2012, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan, PT Semen Padang, PT Semen Gresik, PT Semen Tonasa dan Thang Long Cement (Vietnam) bergabung dibawah PT Semen Indonesia (Persero) Tbk yang sahamnya dimiliki mayoritas Pemerintah Republik Indonesia sebesar 51,01%, sisanya sebesar 48,09%, dimiliki publik.
Sebagai pabrik tertua yang didirikan 1910, Tentu saja PTSP adalah bagian sejarah negeri yang bernama Indonesia ini. Di Riau, PTSP ikut andil dalam pembuatan Jembatan (legendaris) Leighton di Pekanbaru. Membangun kantor gubernur, Gedung Dang Merdu, Riau Hotel (sekarang Aryaduta), Pasar Pusat, Pasar Kodim, Gedung Laksamana Raja Dilaut, Bengkalis dan lain sebagainya. Coba kalau PTSP tak ada, mungkin gedung dan jembatan itu masih memakai kuning telur, seperti halnya Mesjid Sultan di Penyengat, Kepulauan Riau.
Di zaman Presiden Soekarno, Semen Padang ikut andil dalam membangun Stadion Utama Gelora Senayan, Tugu Monumen Nasional (Monas), Mesjid (kebanggan umat Islam Indonesia) Istiqlal, Gedung Sate Asia Afrika di Bandung, Istana Kepresidenan di Bogor dan banyak lagi. Semua bahan semennya “diimpor” dari Padang, Sumatera Barat.
Tapi belakangan, tuntutan pemilik saham kepada PTSP semakin berat. Mereka tak lagi melihat sejarah. Mereka tak lagi menghargai Minang. Tak lagi menghargai syarak dan tak lagi menghargai adat. Padahal semua bahan baku PTSP itu ada atau terletak di tanah Adat. Masyarakat adat yang merelakan tanah milik mereka dipakai PTSP untuk kemaslahatan nagari dan anak kemenakan.
Memang, peran pemerintah dalam membantu PTSP sangat besar. Karena ketika menghadapi masa masa sulit, Pemprov Sumbar, pernah membayarkan gaji karyawan PTSP melalui APBD. Juga sebelum diakuisisi, pabrik PTSP nyaris jadi besi tua dan akan dilelang kepada perusaan Prancis, Sico Franch. Tapi pada masa masa jayanya, PTSP sudah menguntungkan jutaan milyar rupiah bagi pemerintah, rakyat dan Sumatera Barat. Bahkan klub Sepak Bola kebanggan orang Minang, PS Semen Padang, ikut pula menikmati ketenaran dan kesuksesan di tanah air.
Kini, PTSP memang dalam kondisi sekarat kepemilikan dan kepercayaan rakyat. Apalagi kondisi PTSP yang sudah menjadi “Holding” sejak 2012, semakin kecewa dan dicucuk hidung mereka yang menurut sebagian besar orang Sumbar, makin tak jelas dan merugikan rakyat.
Menurut Tokoh Muda Minang, Andre Rosade yang mengirimkan surat ke Jokowi dan Menteri BUMN, Pemerintah sudah makin anggap enteng dan makin mengebiri hak hak Rakyat Sumatera Barat. “Kami tak akan membiarkan kesewenangan ini lagi. Kami minta pemisahan PTSP dari Holding seperti halnya PT Semen Tonasa. Kami takkan biarkan siapapun yang akan mengambilnya. Itu tanah kami. Itu Ulayat kami. Sampai mati kami akan perjuangkan,” kata Andre.
Sisi lain, ada yang menarik dari PTSP di Sumbar itu. Mereka punya moto; “Kami sudah memikirkan sebelum anda berbuat.” Falsafah PTSP itu, searah dengan pepatah Minang; Alun takilek, alah takalam. Takilek ikan di lauik, alah tantu jantan batinonyo (belum terkilat, sudah terkelam. Berkelebat ikan di laut, sudah tahu yang mana jantan dan mana betina). Itulah hebatnya orang Minang.
Tapi orang orang hebat itu, kini tengah terkapar sakit. Sekarat karena hak mereka mulai dikebiri. Mereka segera dipinggirkan oleh kekuasaan. Mereka akan dikubur hidup hidup tanpa perundingan yang peduli terhadap masa lalu, sejarah, adat dan syarak. Semua yang mereka harus terima hari ini, adalah hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi, aturan dan tentu saja kekuasaan.
Bagaimana dengan Riau? Sebagai tetangga orang Sumbar, sebagai saudara sesama Islam, tentu ikut prihatin; Keruh air di hulu, keruh air di hilir. Apalagi Riau dan Sumbar saling membutuhkan.
Sebagian orang Sumbar cari makan di Riau, orang Riau berguru kepada orang Sumbar. Dan jangan jangan, nasib orang Sumbar itu, segera pula menjalar ke Riau. Bisa saja, negeri Lancang Kuning ini, tak lama lagi akan mendapat perlakuan yang sama dengan yang dialami Sumatera Barat. Tak ada arti lagi falsafah PT Semen Padang yang hebat itu. Tak ada arti lagi Riau sebagai negeri kaya itu. Wallahualam! ***
(H. Dheni Kurnia adalah Penyair, Wartawan Senior dan Ketua Umum FORKI (Federasi Olahraga Karate-do Indonesia) Provinsi Riau.) l