Tradisi Babaliak ka Surau Bagi Laki-laki Minangkabau

Karmila Asri. (foto/dok)

Oleh: Karmila Asri
(Mahasiswa jurusan Sastra Minangkabau
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas)

Babaliak ka suaru atau bisa disebut dengan kembali ke surau itu adalah upaya untuk mengembalikan kembali tradisi yang dulu pernah mendarah daging di ranah Minangkabau dan kini telah hilang dimakan oleh zaman. Tentu mesti disesuaikan dengan keadaan yang sekarang. Saya pernah menanyakan lansung perihal ini dengan tokoh adat di kampung saya. Di daerah Sungai Buluh Padang Pariaman. Beliau bernama Kapalo Mudo Daniel (25 Februari 2024).

Beliau mengatakan bahwa dahulu surau itu di jadikan sebagai tempat untuk bersosialisasi, belajar ilmu agama, belajar silek, belajar adat istiadat, belajar kitab tafsir, dan banyak lagi yang dapat di pelajari di surau. Anak laki-laki datang ke surau itu tidak hanya sekedar tidur dan ganti baju saja. Untuk sekarang sudah saatnya di Minangkabau kembali diterapkan hukum adat sesuai dengan falsafah adat Basandi syarak – syarak basandi Kitabullah. Pengalaman masa lalu tetap dapat dijadikan pedoman pengajaran atau acuan karena metode yang lama tidak kalah baiknya dengan sistem ajaran yang ada sekarang.
Surau merupakan lambang identitas orang Minangkabau yang islam. Tidak dapat di pungkiri bahwa hakikat surau akan tetap ada sepanjang zaman selagi orang Minangkabau berkiblat ke Baitullah. Tapi ada yang di sayangkan di saat ini. Untuk waktu yang panjang Surau telah mengalami pasang surut yang bergelombang. Mula-mula surau dijadikan tempat segala macam ilmu diajarkan yang dimotori oleh seorang ulama (urang siak) dan di jadikan second home setelah rumah gadang oleh anak nagari. Setelah itu surau mengalami penetrasi dari luar sehingga sistem Surau dianggap Konservatif dan dikonotasikan telah tidak sesuai lagi dengan zaman kekinian.
Kehidupan surau pada awalnya merupakan rutinitas humanitas yang mesti dijalani oleh seorang laki-laki Minangkabau sebelum iya pergi ke rantau untuk mengadu parasaian atau nasib. Di surau para lelaki jolong ka gadang itu tidur,belajar mengaji, belajar silat,belajar adat istiadat, belajar ilmu pengobatan,dan ilmu-ilmu lainnya. Setelah dirasa memiliki wawasan yng lebih luas dan kemampuan manajemen hidup,hasil dari gemblengan selama di surau dan tentu pula melalui pendidikan formal di bangku sekolah seorang pemuda Minangkabau akan dilepas untuk pergi ke rantau tanpa kekhawatiran.
Para pemuda yang digembleng di surau secara prinsipil dituntut untuk tegar, tahan banting, ulet, disiplin, berani, berwawasan luas, dan berpikiran maju. Budaya surau mengharapkan seorang pemuda untuk hidup sederhana ,tetapi tidak harus berfikir dan bertindak secara tradisional. Di surau pulalah dibina rasa kebersamaan, persatuan, loyalitas, saling menghargai dan prinsip-prinsip ukhuwah lainya. Ibarat kata pepatah saciok bak ayam, sadanciang bak basi. Ini semua merupakan bekal-bekal yang amat dibutuhkan untuk menjajaki rantau, lauik sati rantau batuah.
Sistem Surau yang awalnya dikenal ampuh mengkader ulama dialihkan ke sistem pesantren yang diadopsi dari Jawa. Sedangkan orang-orang siak atau ulama yang seharusnya ber-base home di Surau berganti baju mendirikan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI. Di kota, Surau atau mesjid hanya dihuni oleh garin yang sedang studi. Sedangkan di desa Surau atau mesjid hanya dipakai sekali se-Jumat.
Ajakan kembali ke Surau meskipun mengandung dikotomis yang merefleksikan bahwa orang Minangkabau telah lari dari suraunya, yang berarti telah lari dari islam seharusnya direspon positif. Secara kasat mata muncul segenggam harapan untuk murnikan kembali citra keislaman orang Minangkabau yang telah memudar digilas oleh roda-roda besi peradaban. Surau dengan sistem yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, secara substansial memang sesuai yang ideal sesuai harapan yang tertumpang dengan sistem kembali ke nagari. Tetapi bagaimana dengan citra surau yang terlanjur di konotasikan negatif tadi? Bagaiman dengan peran ulama(urang siak) yang telah mendirikan MUI? Bagaiman dengan anak muda Minangkabau yang sudah tidak lagi mengenal adat istiadatnya, yang telah berusaha dijauhkan orang asing dari agamanya?
Aksentasi kembali ke surau sebenarnya ingin menghidupkan ruh islam di tengah-tengah pesimisme kaum muda Minangkabau yang telah kehilangan identitasnya seperti yang disebutkan Abdurrahman Gus Dur Wahid bahwa Minangkabau tinggal kerabang. Pasca Hamka, tidak ada lagi cendikiawan muslim Minangkabau yang kuat basic keulamaannya.
Kalupun cendikiawan yang muncul, ia lebih dikenal dengan intelektualnya bukan karna keulamaannya. Ini sebagai akibat dan ruh Surau yang terpelanting digantikan sekolah-sekolah agama modern yang lebih berorientasi pada intelektualisme islam modern, bukan pada intelektual keulamaannya yang selama ini secara sosiologi adalah orang yang alim dalam ilmu agama, sekaligus juga memiliki keterikatan yang dekat dengan masyarakat atau dengan surau sebagai lambang spritualitas islam masyarakat Minangkabau.
cita rasa kebersamaan sebagaiman dikembangkan di surau akan terasa faedahnya ketika sudah berada di rantau. Di rantau,sesama orang Minang akan dipandang sebagai saudara. Saudara yang dimaksud itu bisa jadi sebagai saudara yang memang salapiak sakatiduran, saudara sekampung, saudara sedaerah, maupun saudara sesama suku Minangkabau.
Jika begitu, dinamika kehidupan surau akan dapat dirasakan dalam dinamika kehidupan di rantau. Di surau seseorang di didik untuk bangun pagi sebelum subuh. Secara ekonomis,dari segi waktu,orang yang terbiasa bangun pagi telah menang. Selesai sholat subuh ,mereka-mereka yang tidur di surau akan bertebaran mengerjakan urusan dan pekerjaan masing-masing. Cara inilah yang diharapkan kelak dapat diterapkan di rantau untuk mencari penghidupan. Lebih dari itu prinsip lebih baik mendahului dari pada didahului dan menghargai waktu ditanamkan secara kokoh di dada setiap pemuda Minangkabau.
Agar laki-laki Minangkabau tadi babaliak ka surau ada peran tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan di dalamnya. Siapa itu tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan tadi? Itu adalah Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Ninik Mamak harus kembai lagi untuk menasehati para kemenakannya agar mau lagi untuk kesurau. Itu pun tidak juga terlepas dari dukungan orang tua si anak. Kalau semuanya sudah bekerjasama untuk mengembalikan anak, kamanakan tadi untuk ke surau pasti itu semua akan berjalan dengan lancar. Nanti di surau anak akan di tunjuk di ajari oleh Alim Ulama dan Cadiak pandai. Mungkin untuk kembali semula, seperti yang dulu itu menurut saya agak susah karena pengaruhnya itu sudah banyak. Contohnya gadget, tv, game online dan lain-lainnya. Tapi kita tidak boleh berputus asa juga wallahualam kalau masalah itu. Setidaknya kita sudah berusa. Saya berharap pada Ninik Mamak untuk munculkan lagi perannya di dalam nagari terkhususnya dahulu untuk anak keenakannya.
Dengan demikian ruh surau dan ruh islamlah yang mesti direkonstruksi sesuai dengan makna hakiki falsafah ABS-SBK serta adat dipacik arek, agama diganggam taguah untuk mengembalikan masyarakat Minangkabau ke harian islam yang kaffah. Namun tetap saja hal ini akan mengundang berbagai penafsiran, mengingat islam, surau dan masyarakat Minangkabau adalah komponen yang satu, yang telah mengalami akulturasi budaya dari zaman ke zaman.
Ke depannya akan tetap menjadi kontroversi bahwa surau yang gemilang di masa lalu karena memang menjadi sentral pembinaan intelektualitas keulamaan, dengan surau modern yang diharapkan (kembali) menjadi pusat-pusat peradaban modern di Minangkabau karena berbagai sebab. Di satu sisi, surau modern dengan metode modern akan berhadapan dengan dampak globalisme yang semakin tak berbatas, berbanding terbalik dengan kesadaran kolektif masyarakat Minangkabau tentang indentitas. Retorisnya masyarakat Minangkabau semakin lari dari tradisi religiusitasnya, dari kulturalnya. Di sisi lain kita harus kembali ke surau dengan memutus citra negatifnya.***