Nama/Nim: Muhammad Habib Huzaihfa/2210742021
(Jurusan : Sastra Minangkabau
Universitas Andalas)
Minangkabau lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah. Hal ini mungkin karena dalam catatan sejarah hanya terdapat informasi tentang pergantian nama kerajaan yang menguasai wilayah tersebut, tanpa ada catatan tentang sistem pemerintahan yang demokratis dengan masyarakat yang menganut sistem matrilineal. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, sebagian Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, dan Aceh Barat di Indonesia, serta Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan umum, orang Minang sering disebut sebagai orang Padang, namun masyarakat ini biasanya menyebut kelompoknya dengan istilah urang awak.
Upacara Pernikahan Menurut Tradisi Masyarakat Minangkabau
Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia pada umumnya bergantung pada agama yang dianut oleh masyarakat adat terkait. Apabila perkawinan telah dilaksanakan sesuai dengan tata tertib hukum agama yang dianut, maka perkawinan tersebut dianggap sah menurut hukum adat, kecuali bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui oleh pemerintah. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, namun menjadi pedoman atau aturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Hukum adat yang tidak tertulis bersifat dinamis dan berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia merupakan urusan bersama antara kerabat, keluarga, masyarakat, dan individu yang terkait. Perkawinan menurut hukum adat merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh anggota masyarakat hukum adat. Dalam perjalanan hidup manusia, terdapat berbagai tahapan, mulai dari masa balita, kanak-kanak, remaja, pancaroba, perkawinan, berkeluarga, usia senja, dan tua. Dengan kata lain, perkawinan dapat disebut sebagai titik awal dari proses pembentukan kelompok baru. Pada masyarakat yang menganut sistem matrilineal, seperti di Minangkabau, masalah perkawinan menjadi tanggung jawab mamak (paman dari pihak ibu), yang memiliki peran yang sangat besar terhadap keponakan yang akan melakukan perkawinan.
Struktur sosial dan ikatan kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Minangkabau.
1.Peran Orang Tua dalam Kehidupan Anak
Dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, seorang anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Dengan demikian, anak akan menjadi bagian dari klan atau suku ibunya, sementara terhadap ayahnya, anak tidak memiliki hubungan hukum apapun, meskipun secara alamiah dan rohaniah terdapat hubungan darah. Sebaliknya, seorang ayah tidak akan memiliki keturunan yang menjadi anggota keluarganya.
Oleh karena itu, seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, baik dalam hal memelihara, membesarkan, maupun mengawinkan mereka. Hubungan pewarisan terjalin dengan ibu beserta mamak (paman dari pihak ibu) dari anak-anak tersebut. Namun, dalam perkembangan modern yang dipengaruhi oleh budaya Barat, keadaan ini telah banyak mengalami perubahan. Peran mamak dalam kehidupan keluarga keponakannya kini telah diserahkan kepada ipar/menantu dari pihak laki-laki (urang sumando).
2. Keragaman Praktik Perkawinan dalam Masyrarakat Adat Minangkabau
Dalam masyarakat matrilineal Minangkabau yang menganut sistem kehidupan komunal, perkawinan menjadi persoalan dan urusan seluruh kaum kerabat. Mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan segala urusan akibat perkawinan itu. Perkawinan bukan hanya masalah sepasang individu yang ingin membentuk keluarga atau rumah tangga.
Karena falsafah Minangkabau menjadikan semua orang hidup bersama-sama, maka rumah tangga menjadi urusan bersama. Akibatnya, masalah pribadi dalam hubungan suami-istri tidak terlepas dari masalah bersama. Dengan kata lain, dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, perkawinan dan kehidupan rumah tangga bukanlah urusan individual, melainkan menjadi tanggung jawab dan urusan seluruh kaum kerabat. Hal ini didasari oleh filosofi hidup bersama-sama yang kental dalam budaya Minangkabau.
3. Konsep Pernikahan yang Memenuhi Kriteria Ideal
Dalam pemikiran masyarakat Minangkabau, perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan antara anggota keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan semacam ini lazim disebut sebagai “pulang ka mamak” (mengawini anak mamak) atau “pulang ka bako” (mengawini kemenakan ayah). Tingkat perkawinan ideal selanjutnya adalah perkawinan “ambil-mengambil”, yaitu kakak-beradik laki-laki dan perempuan dari keluarga A menikah secara bersilang dengan kakak-beradik laki-laki dan perempuan dari keluarga B.
Urutan selanjutnya adalah perkawinan dengan orang yang berasal dari satu korong (dusun), satu kampung, satu nagari, satu luhak, dan akhirnya sesama orang Minangkabau. Perkawinan dengan orang dari luar kelompok etnis Minangkabau kurang disukai meskipun tidak dilarang. Jadi, dalam pandangan masyarakat Minangkabau, perkawinan ideal adalah yang terjadi di antara anggota keluarga dekat atau paling tidak dalam lingkup komunitas Minangkabau itu sendiri.
Kesimpulan
Bentuk perkawinan di Minangkabau telah mengalami perubahan. Menurut adat Minangkabau, perkawinan bersifat eksogami jika dilihat dari lingkungan suku, dan endogami jika dilihat dari lingkungan nagari.
~ Eksogami suku berarti seseorang tidak boleh menikah dengan orang yang berasal dari suku yang sama. Alasannya adalah karena orang yang berasal dari suku yang sama dianggap sebagai saudara, karena dapat ditarik garis kekerabatan secara matrilineal dan berasal dari rumah gadang yang sama.
~ Endogami nagari berarti seseorang dalam mencari pasangan harus mencarinya di antara orang-orang yang berasal dari nagari (desa) yang sama, dan tidak boleh menikah dengan orang dari luar nagari. Alasannya adalah karena seorang suami memiliki dua tempat tinggal, yaitu di rumah istri dan rumah ibunya. Ia harus bisa menjalankan perannya sebagai urang sumando (menantu) di rumah istri, serta sebagai mamak (paman) di rumah ibunya. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik, maka jarak antara rumah istri dan rumah ibunya harus dekat, sehingga melarang perkawinan dengan orang luar nagari.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa adat Minangkabau mengenal aturan eksogami suku dan endogami nagari dalam perkawinan, yang bertujuan mempertahankan sistem kekerabatan dan peran sosial yang berlaku.***