Wawako Ekos Albar Buka Pameran Foto dan Seni Rupa “Di Bawah Kuasa Naga”

Wawako Padang Ekos Albar membuka Pameran Foto dan Seni Rupa “Di Bawah Kuasa Naga” di Taman Budaya Padang. (foto/dok)

PADANG, mimbarsumbar.id — Pameran foto dokumenter Fatris MF yang bertajuk “Di Bawah Kuasa Naga” resmi dibuka pada 25 April 2024 pukul 8.00 malam di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat.
Pada acara pembukaan, Wakil Wali Kota Padang Bapak H. Ekos Albar, SE, menyoroti tentang kegiatan budaya yang menjadi daya tarik penting bagi perkembangan kota. Hal tersebut ia sampaikan pada pidatonya.
Hadir juga, Supriyadi, S.E, M.SI yang merupakan Kepala UPTD Taman Budaya Prov Sumbar; Dr. H. Jefinal Arifin, SH., M.Si selaku Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar; dan Buchari Bacher selaku ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Sumbar.
Keempatnya secara bersama-sama membuka pameran “Di Bawah Kuasa Naga” dan ditandai dengan pemotongan pita merah. Momen tersebut disaksikan oleh ratusan tamu undangan yang berasal dari perwakilan komunitas, pemerintahan, seniman, budayawan, jurnalis, penggiat film, fotografer, aktivis lingkungan dan hak asasi manusia serta khalayak umum.
Fotografer senior asal Sumatra Barat yang fokus ke etnofotografi, Edy Utama, juga turut hadir dalam pembukaan pameran ini, menyampaikan apresiasinya.
“Pameran ini menarik karena ada upaya memunculkan media baru dalam merespon isu sosial. Sebuah pendekatan kritis atas lingkungan terhadap kebijakan yang diambil rezim,” puji Edy.
Menurut budayawan senior yang pernah dianugrahi sebagai Ikon Prestasi Pancasila oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di tahun 2020 ini, gerakan pemikiran melalui berkesenian seperti ini masih sangat jarang di Sumatra Barat. Padahal sebagai karya visual, fotografi berpotensi menjadi sebuah karya kreatif yang bisa mewakili banyak hal dari kehidupan.
“Fotografi bisa menjadi media ungkap dari berbagai studi seperti budaya, lingkungan dan kebijakan. Pesan lebih mudah sampai karena foto bisa tampilkan fakta yang lebih kongkrit,” paparnya. Ia berharap media ini menjadi pilihan strategis banyak seniman untuk mengungkap realita sosial.
Bagi Edy, Fatris adalah pekerja luar biasa yang bekerja dalam senyap. Fatris memiliki pilihan tematik yang cukup unik. Ketika banyak orang melihat isu dari sudut pandang mainstream, Fatris melihat dari sudut yang berbeda. Di saat orang-orang sibuk mengabadikan keindahan alam beserta segala puja pujinya, Fatris melihat ironi kemanusiaan di balik itu semua.
“Di sana kekuatan Fatris. Ia mengerjakan semua itu dengan sungguh-sungguh,” ujar Edy.
Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat
Sebanyak 44 foto yang berwarna dan hitam putih dipamerkan. Potretnya memuat tentang keseharian masyarakat adat suku Komodo atau Ata Modo di Pulau Komodo. Keseluruhannya menarasikan tentang ironi atas nama pembangunan, konservasi dan pariwisata di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Barat. Tempat yang digadang-gadang sebagai destinasi wisata premium namun berimplikasi pada suhu politik yang memanas.
“Masyarakat yang hidup di Taman nasional Komodo mengalami banyak tekanan termasuk penggusuran demi perlindungan Komodo. Sebelumnya berbagai aturan yang mengatasnamakan konservasi telah menggiring masyarakat meninggalkan pekerjaannya yang berhubungan dengan alam seperti mengambil hasil hutan dan melaut,” ujar Fatris MF.
Selama kurang lebih sebulan, tepatnya di tahun 2020, saat pandemi COVID-19 melanda, Fatris merekam memori kolektif masyarakat “Ata Modo” di tempat yang berjarak lebih dari 3000 meter dari tanah kelahirannya di Sumatra Barat. Saat itu, tidak banyak turis yang ke sana. Akibatnya ekonomi masyarakat hancur karena sebagian besar mereka telah menggantungkan hidup dari pariwisata.
“Saya berbincang dengan orang-orang di sana kemudian mencatatnya lewat tulisan. Juga mendokumentasikannya lewat foto dan video,” ceritanya.
Masyarakat Adat Komodo atau Ata Modo telah mendiami Pulau Komodo jauh sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo. Orang-orang yang telah lebih dahulu berhubungan baik dengan Komodo, saudara sedarah yang mereka namakan “Sebae”. UNESCO mencap kawasan ini sebagai cagar biosfer dunia di tahun 1977. Pada tahun 2013, pemerintah menyelenggarakan Sail Komodo dengan dalih untuk mendongkrak ekonomi melalui proyek wisata dunia.
Fatris menemukan kenyataan bahwa pembangunan atas nama pariwisata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Bangunan megah dibangun dan lapangan kerja baru dibuka, namun kampung di Pulau Komodo dengan populasi 1700 jiwa hanya memiliki satu puskesmas, SD dan SMP. Kondisi yang begitu timpang.
“Ketika Pulau Komodo menjadi destinasi dunia, masyarakatnya tetap hidup dalam kemiskinan. Infrastruktur pariwisata yang dibangun tidak sebanding dengan fasilitas publik yang dibangun untuk masyarakat di sana. Bahkan jika masyarakat digigit komodo, mereka harus menyeberang lautan selama berjam-jam untuk mengakses fasilitas kesehatan yang lebih memadai,” terang Fatris.
Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumbar yang ikut hadir pada pameran menyebutkan kondisi yang terjadi di Pulau Komodo, juga terjadi di banyak daerah termasuk Sumatra Barat.
“Di berbagai daerah yang jadi kawasan Taman Nasional, negara seringkali menempatkan diri sebagai pemilik tanah dan masyarakat adat dianggap menumpang. Akhirnya masyarakat adat dipaksa untuk berpisah dari alam yang menghidupi mereka selama berabad-abad. Hal itu terjadi juga di Mentawai ataupun nagari yang ada di Sumatra Barat,” ungkap Wengki.
Wengki juga menyoroti fenomena ini dengan upaya aktivis lingkungan hidup dan masyarakat adat yang tengah mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat.
“Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat penting diperjuangkan untuk memperkuat posisi masyarakat adat atas hutannya. Ini adalah ruang regulasi nasional untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat. Banyak pihak yang punya kepentingan untuk mengkapitalisasi hak tersebut. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mencekal itu,” jelas Wengki.
Wengki mengatakan bahwa kelompok masyarakat adat seringkali dianggap penghambat untuk pembangunan serta aktivitas bisnis koorporasi besar seperti perkebunan, kehutanan, peretambangan dan sektor lainnya
Sejak tahun 2009, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan koalisi masyarakat sipil menginisiasi pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat atau dikenal dengan RUU Masyarakat Adat. RUU ini diharapkan bisa menjadi payung hukum untuk pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Namun hingga kini, RUU tersebut tak kunjung disahkan, hanya sampai masuk ke Program Legislasi Nasional.
Menurut Wengki, pameran ini memberi pesan tegas bahwa aspek ekologis mesti ditempatkan pada kondisi seimbang, yakni dibarengi dengan penghormatan terhadap masyarakat adat.
Masyarakat adat lebih dulu melestarikan lingkungan dan alam, jauh sebelum pemerintah ada dan menerbitkan seperangkat aturan soal lingkungan dan kehutanan.
“Fatris adalah sosok yang terus gelisah. Kegelisahan itu ia tuangkan dalam banyak karya untuk memperjuangkan hak asasi manusia, secara khusus soal masyarakat adat. Pesan dalam pameran ini sangat tegas dan gampang dipahami oleh banyak orang. Saya berharap kegiatan seperti ini bisa jadi inspirasi banyak orang yang ingin membuka kesadaran kolektif dengan cara yang mudah dipahami masyarakat,” ujar Wengki.

Inisiasi Gerakan Kolektif di Kota Padang

Akbar Nicholas, pimpinan produksi pameran menyebutkan proses persiapan pameran memakan waktu kurang lebih 6 bulan. Terhitung sejak November 2023.
“Sudah lama kita ingin ada pameran seni di Sumatra Barat yang bicara tentang persoalan sosial secara gamblang. Kegiatan ini salah satu corong untuk membicarakan isu tersebut ke masyarakat luas, melalui media seni,” ungkap Akbar.
Lanjutnya, kegiatan ini juga mendapat dukungan dari banyak komunitas. Support dana dari UPTD Taman Budaya tidak lebih dari 15 juta rupiah, setelah dipotong pajak. Itupun turunnya secara bertahap. Termin satu turun sebanyak 6 juta, sisanya akan dicairkan ketika laporan kegiatan diberikan. Alhasil, tim pameran harus mengakali dengan meminjam sana sini untuk menutupi biaya produksi pameran.
“Sangat sulit mengadakan pameran dengan dana segitu. Uang 15 juta hanya mampu menutupi biaya cetak foto, frame, dan pembelian cat untuk instalasi pameran. Sedangkan tim produksi butuh biaya lain seperti konsumsi persiapan, pengadaan properti pameran seperti lampu dan printilan lainnya. Kekurangan biaya cukup besar, ” cerita Akbar.
Akhirnya, beberapa properti di pameran ini dipinjamkan secara sukarela oleh beberapa komunitas. Sebagian besarnya harus dibeli. Bahkan untuk konsumsi tim saat persiapan, dikumpulkan secara swadaya.
Solidaritas antar komunitas terasa pada proses ini. Teman-teman dari komunitas di Padang datang secara bergantian mengantar makanan untuk tim yang tengah mempersiapkan produksi pameran. Ada yang membawa sebungkus gorengan, kopi, air minum dan lainnya.
“Yang buat saya terharu, di tengah keterbatasan ini teman-teman komunitas membantu dengan sukarela. Seperti Madil yang datang jauh-jauh dari Padangpanjang ke Padang untuk menjadi tenaga relawan membantu kerja produksi pameran. Bahkan bantuan itu juga datang dari per individu di luar komunitas,” paparnya.
Kendati dana yang kurang, menurut Akbar, pihak UPTD Taman Budaya cukup sigap dalam membantu panitia di teknis dan administratif. Hal ini bisa dilihat dengan membantu mempermudah penggunaan gedung galery beserta fasilitas di dalamnya.
Selain dukungan dari UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, pameran ini juga didukung berbagai komunitas seperti Gazp!, Komunitas Seni Nan Tumpah, Sarga, Steva, Clera Studio, Pelita Padang, Rumah Ada Seni, PCCF, Kupi Batigo, Padang Pop Art, Info Sumbar, Minang Lipp, Ota Lapau, We The Syne, dan Rohana Project.
Fatris MF diketahui penulis, jurnalis, periset sekaligus fotografer asal Sumatra Barat. Ia gemar membuat catatan perjalanan yang berfokus pada sejarah, isu lingkungan, pergesekannya dengan modernisasi. Kumpulan catatan tersebut dijadikan buku. Selain pameran foto, nanti juga akan ada peluncuran buku yang berjudul “Di Bawah Kuasa Naga, The Land of Dragon” di hari ke-dua, 26 April 2024. Ini merupakan buku ke-7 dari Fatris MF.
Sebelumnya, buku berjudul The Banda Journal (2021), karyanya bersama fotografer Muhammad Fadli meraih TIME’s 20 Best Photobooks of 2021 dari Time Magazine dan “PhotoBook of the Year” pada Photo Book Awards 2021 di Art Fair Internasional Paris Photo.
Kumpulan foto yang dipamerkan direspon oleh perupa Ariq Alhani dengan mural yang berwarna hitam, merah dan putih. Ariq Alhani akan mempertunjukannya pada Live Mural selama 2 hari, 25-26 April 2024. Selain itu, ada penampilan musik dari Echo Flow yang menghibur para pengunjung pameran. Seluruh karya foto yang dipajang diperjualbelikan kepada pengunjung yang datang. Jadi pengunjung tidak hanya bisa menikmati pameran tapi juga dapat membeli dan membawa pulang karya Fatris MF.
Pameran ini akan berlangsung selama 4 hari. Sejak 25 April 2024 hingga tanggal 28 April 2024. Selain pameran foto dan peluncuran buku, akan ada pemutaran film dokumenter, diskusi dan bincang santai kuratorial dan penampilan musik dari Calon Pemusik Negeri Sipil (CPNS). (ms/*/ald)