Wisatabeda Ridwan (yang) Tulus

Oleh: All Amin

Mendadak saya tersembur gelak, ketika mendengar mendengar cerita Uda (begitu saya memanggilnya) Ridwan Tulus saat memperkenalkan diri di atas panggung. “Perkenalkan nama saya Ridwan Tulus. Banyak yang bernama Ridwan, tapi hanya saya yang tulus.”

Tersembur gelak, sebab di panggung yang sama pun turut berbicara Ridwan Kamil. Kala itu menjabat Gubernur Jawa Barat.

Ketika itu Ridwan Tulus diundang memberi kuliah umum pada Program Pascasarjana Unpad. Pemateri tentang konsep Eco Tourism di depan para dan calon doktor. Berbicara dalam kapasitasnya sebagai praktisi di bidang pariwisata. Untuk ranah industri tourism memang nama Ridwan Tulus dikenal kawakan.

Menurut ukuran saya, bila seorang praktisi telah sering diundang guna memberikan kuliah umum, apalagi sudah sampai pada level kampus-kampus top. Seperti Unpad, Unand, ITB. Jua di event-event internasional, berarti derajat ilmu yang bersangkutan sahih. Bukan lagi kaleng-kaleng.

Biasanya kampus-kampus, mengundang tamu dari luar untuk memberikan kuliah umum, ada dua alasannya. Pertama, seperti di atas, ketika melihat ada praktisi yang memiliki ilmu mumpuni di bidang tertentu. Kedua, (tapi ini rahasia kita-kita saja, jangan banyak yang tahu) sebab basa basi politik. Pejabat yang sebenarnya bukan ahlinya, tapi perlu diberi panggung.

Cerita tentang perkenalan pada kuliah umum di Unpad itu, saya dapatkan ketika kami mengobrol di salah satu tempat ngopi di pojokan cafe di Kuningan City.

Saya tak berada di venue acara. Bagi saya hil yang mustahal bisa turut serta di perkuliahan di kampus-kampus besar seperti Unpad, jua ITB itu. Sebab saya terhubung dengan dengan kampus-kampus itu hanya dalam mimpi. Mimpi lama. Terutama ITB. Setiap mendengar kata ITB, terasa ada folder bagian belakang kepala saya yang otomatis terbuka. Mungkin karena dulu potongan-potongan mosaik terkait ITB rajin saya susun di dalam pikiran. Sejak dari bercelana pendek merah, sampai celana putih abu-abu. Pada masa itu ada satu nama besar yang banyak mengilhami anak kampung pemimpi seperti saya. Nama B.J. Habibie. Nama yang identik dengan ITB. Kini, mimpi dan nama itu, sama-sama sudah dikuburkan.

Ops. Kembali ke Kuningan City. Tempat kami mengopi.

Mulanya, saya yang meminta, nak bersua dengan penggawa pariwisata ini. Dalihnya standarlah, hendak mengobrol sembari ngopi-ngopi. Sebab, intuisi saya membisikkan banyak nilai yang mesti digali dari seorang Ridwan Tulus, yang profilnya sudah saya baca beberapa kali. Rupanya beliau merespons, dengan antusias. Gayung bersambut.

Kami berdiskusi kisaran empat jam. Lebih pas disebut dengan, saya kuliah privat selama empat jam. Materinya tentang pariwisata. Saya menyimak dengan saksama, kadang sesekali menyela.

Kali ini intusi saya tepat. Saya lihat jam pukul 15.00, setelah 2,5 jam obrolan berjalan, saya menginterupsi. Ada menemukan sesuatu.

Belasan tahun beraktivitas sebagai praktisi pemasaran, dan dalam aktivitas itu lebih banyak berinteraksi dengan orang dibandingkan mesin. Selalu bersua orang-orang baru. Durasi itu mengasah sensitivitas sensor-sensor saya dalam mengenali orang.

Subjektivitas saya mengatakan, ungkapan “Ridwan yang tulus” sepertinya lebih dari sekadar treatment ice breaking dalam presentasi. Doa orang tua yang menyematkan kata “tulus” di belakang nama, sepertinya diijabah.

Tapi, saya menginterupsi bukan untuk mengatakan itu. Sekadar rasa di hati saja. Boleh jadi tak sepenuhnya benar.

Saya interupsi untuk mengatakan, bahwa dalam waktu kisaran dua jam, Sang Maestro ini bisa menggeser sudut pandang saya melihat oportunity dalam ruang pariwisata. Ada kesungguhan, dan (seperti disampaikan di atas) ada ketulusan yang mencerahkan pemikiram saya. Ahaa.

Saya sejatinya tak banyak tahu tentang pariwisata. Modal cuap-cuap yang agak besar, agar tampak tak terlalu awam ketika bicara, hanyalah pernah ber-KTP Denpasar kekira satu tahuan. Jadi sedikit mengenal Pulau Dewata. Daerah yang sering menjadi tolok ukur pariwisata Indonesia. Rule model. Tempat para pejabat berstudi banding.

Dalam pengamatan saya Bali itu memang sangat pantas ramai dikunjungi wisatawan. Lebih dari sekadar alamnya yang indah, nuansanya kompleks, destinasinya banyak, beragam, jaraknya berdekatan, infrastrukturnya lengkap. Budayanya unik. Dan paling esensial adalah masyarakatnya. Orang Bali sangat pandai menghargai tamu. Hampir setahun tinggal di Bali, tinggal di lingkungan yang satu-satunya warga non-Bali. Setiap hari mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Hingga sampai saya pada satu kesimpulan, jangankan manusianya, anjing yang berkeliaran di jalan-jalan pun, sepertinya diajarkan untuk pandai menghargai tamu. Tak mau mereka menggongong sembarangan. Bali mampu menghadirkan rasa nyaman di hati setiap pengunjungnya.

Oh, iya. Tentang interupsi tadi belum selesai. Sudut pandang yang mana yang bergeser?

Perspektif tentang suatu daerah, bila pariwisatanya ingin laku dijual rujukannya mesti serupa Bali. Indah, kompleks, ramah, dan punya segala hal yang ideal.

Pemikiran standar itulah yang berhasil diluruhkan oleh rangkaian cerita yang dipaparkan oleh Uda Ridwan Tulus. Apiknya cerita disempurnakan dengan aroma racikan tembakau dan cengkeh Dji Sam Soe.

Menurut Uda Ridwan, bila menunggu keadaan itu, tentu kelamaan. Justru kita harus mampu mengemas apa yang ada. Menjadi laku dijual. Bahkan mesti dijual mahal.

Pemikiran model progresif begini, meletupkan nyali salesman saya. Harusnya iya. Bisa begitu.

Analogi penafsiran saya atas pencerahannya: Bila dalam pandangan umum makanan enak adalah: rendang, ayam, gulai otak, dll.

Sedangkan kita adanya: jengkol, ikan sepat, cabe hijau.

Jangan mengira apa yang kita punya tidak bisa dijual. Tinggal bagaimana kita mengemasnya. Harusnya bisa. Di situlah kreativitas diasah.

Saya bersepakat dengan cara pandang Uda Ridwan Tulus, dan saya juga bersepakat kalau mazhab out of the box model begini biasanya sepi pengikut. Apalagi kalau berbicara dalam ranah Sumatra Barat.

Sepertinya konsep ini lebih banyak mendapat cimeeh, dibandingkan sambutan persetujuan. Rasa-rasanya begitu. Tapi, entahlah.

Pada diskusi, eh kuliah privat dua jam berikutnya, saya menyimak pengertian dari istilah-istilah yang baru saya dengar. Saya lebih banyak manggut-manggut daripada turut bicara.

Agar saya bisa paham satu-satu.

Pertama saya mengaminkan kalau Uda Ridwan Tulus cocok disebut sebagai seorang Tour Design. Maestro perancang konsep perjalanan wisata hebat.

Lalu saya mendapatkan pembekalan tentang pengertian dan pengaplikasian istilah-istilah itu: Green Tourism, Eco Tourism, dsb.

Ada beberapa poin yang menurut saya sangat menginspirasi: konsep Life Experience Tourism, dan Second Home. Sebagai seorang pemasar saya melihat: that’s marketable.

“Oke, oke. Paham, Uda”

Sembari menyeberang jalan, sebelum berpisah, saya bersalaman sambil berujar, “Saya terima tantangan, Uda. Saya akan coba sebisanya.”

Tantangan tentang berkreasi mengonsep produk yang bisa membuat orang berkunjung ke suatu tempat. Mengemas realitas. Uda Ridwan dengan tulus meminta saya untuk bermimpi. Saya terima, asalkan Uda juga tulus membimbingnya.

Life Experience Tourism. Konsep yang sudah dipaparkan oleh Uda Ridwan di Jepang tahun 2000. Dua puluh lima tahun kemudian saya dapatkan dari sumber yang sama di Kuningan City. Sambil mengopi. (***)